Menu

Mode Gelap

Opini · 21 Mar 2025 19:25 WIB

Komodifikasi Idul Fitri Dan Gejala Konsumerisme


 Komodifikasi Idul Fitri Dan Gejala Konsumerisme Perbesar

SUMUT, Bundarantimes.com – Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempermudah masuknya pengaruh budaya asing ke dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Globalisasi, sebagai faktor utama, sangat berperan dalam masuknya budaya Barat, termasuk budaya konsumerisme, ke Indonesia.

Menurut Baudrillard (1989), budaya modern Barat kini menekan budaya konsumerisme yang bahkan di Indonesia semakin sulit dibendung. Perilaku konsumtif saat ini tak terlepas dari pengaruh kapitalisme, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat kehidupan dalam masyarakat Indonesia.

Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang mengatur produksi dan distribusi barang dan jasa. Saat ini, konsumsi telah menjadi motivasi utama dan penggerak dalam kehidupan sosial, budaya, bahkan politik (Kellner, 1994:3).

Masyarakat sering terjerat kebiasaan negatif seperti pemborosan, kerakusan, dan konsumsi yang sia-sia demi kepuasan pribadi. Ambisi, kemewahan, dan kebanggaan mendorong individu untuk lebih konsumtif, terutama menjelang perayaan keagamaan seperti Idul Fitri. Fenomena menarik yang terjadi adalah adanya benturan nilai, di mana Ramadan yang merupakan bulan penuh berkah, justru berhadapan dengan fenomena konsumerisme.

Naufal Zaky, S.Pd, M.Pd Dosen Sosiologi dan Antropologi.

Budaya konsumtif mulai terlihat sejak Ramadan dan semakin intens menjelang Idul Fitri. Sebagian besar masyarakat dengan status ekonomi lebih baik terlihat berlomba-lomba memenuhi keinginan mereka tanpa memikirkan nilai guna barang yang dibeli.

Pembelian barang seperti pakaian dan aksesori untuk Idul Fitri dilakukan dengan cara yang berlebihan, menghabiskan uang demi barang yang tidak diperlukan. Hal ini membuat esensi Ramadan, yang seharusnya berfokus pada ibadah dan amal, hampir terlupakan; puasa pun hanya dipahami sebagai sekadar menahan lapar dan haus. Seharusnya Ramadan mendidik umat untuk hidup sederhana dan mengontrol keinginan konsumtif.

Idul Fitri, menurut Quraish Shihab, memiliki makna yang terkait dengan pencapaian tujuan puasa itu sendiri. Secara etimologis, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah. Fitrah di sini merujuk pada asal kejadian manusia yang dilahirkan dengan berbagai potensi dasar seperti ruh, akal, penglihatan, pendengaran, hati, dan agama (Q.S. al-Rum: 30). Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah” (HR. al-Bukhari dan Muslim), yang menunjukkan bahwa manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah (Q.S. al-Baqarah:30; Q.S. al-Dzariyat: 56).

“Pakailah pakaian terbaik kalian saat memasuki masjid dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebihan. Allah tidak menyukai orang yang berlebihan” (Al-A’raf: 31). Memenuhi kebutuhan hidup dan beribadah adalah perintah agama, tetapi menghambur-hamburkan harta demi keinginan di luar kebutuhan adalah perilaku sia-sia (tabdzir), seperti yang dijelaskan oleh Imam az-Zajjaj (2004).

Fenomena konsumerisme kini telah menjadi gaya hidup, ditambah dengan iklan dan promosi besar-besaran di media sosial yang semakin mendorong masyarakat untuk mengonsumsi barang secara berlebihan dan bahkan hedonis.

Teori sosial postmodern muncul dengan keyakinan bahwa era modern telah berakhir, dan kita sedang berada dalam era yang baru. Berbeda dengan teori sosial modern yang mencari universalitas, teori postmodern berpendapat bahwa tidak ada hal yang bersifat universal. Fredric Jameson (1999:1-3) menyebutkan empat karakteristik masyarakat postmodern: kedangkalan, kepura-puraan, hilangnya sejarah, dan kemunculan teknologi baru. Jean Baudrillard melihat postmodern sebagai fenomena yang lebih radikal, di mana media dan model sibernetika menggantikan dominasi produksi material dan menciptakan simbol-simbol non-material yang mendominasi masyarakat.

Baudrillard (1998) mengembangkan teori “Consumer Society” yang memfokuskan pada bagaimana uang dan simbol dalam bentuk gambar dan hiper-realitas telah mengubah dunia konsumsi. Media, khususnya media digital, memainkan peran besar dalam menyebarkan budaya global, termasuk gaya hidup dan mode.

Konsumerisme adalah proses fokus individu dan sosial pada konsumsi yang melebihi kebutuhan primer. Menurut Bartholomew, konsumerisme berakar pada konsumsi, mengutamakan kebebasan individu dalam memilih, dan menganggap kebutuhan manusia sebagai sesuatu yang tak terbatas.

Dalam masyarakat konsumtif, barang-barang yang dibeli bukan sekadar memiliki kegunaan, tetapi lebih sebagai simbol status dan prestise yang ditanamkan melalui iklan-iklan gaya hidup. Dengan demikian, objek konsumsi kini menjadi sarana untuk mengklasifikasikan status, kelas sosial, dan identitas.

Religiusitas dalam konteks ini sangat penting. Nasution (1986) menjelaskan bahwa agama adalah ikatan yang mengarahkan perilaku manusia, sementara Uyun (1998) menambahkan bahwa agama mendorong pemeluknya untuk berperilaku terpuji dan bertanggung jawab atas tindakannya. Religiusitas adalah ekspresi dari kedalaman hubungan seseorang dengan Tuhan yang tercermin dalam akhlak dan perilaku sehari-hari.

Fenomena konsumerisme seringkali berhubungan dengan keserakahan, di mana barang yang tidak diperlukan dianggap sebagai kebutuhan. Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar di ASEAN memiliki potensi pasar yang besar, dan semakin banyak barang konsumsi masuk ke pasar Indonesia.

Pada era postmodern, masyarakat seringkali tidak peduli apakah konsumsi mereka berlebihan. Media sosial berperan besar dalam mempengaruhi gaya hidup konsumerisme, terutama di kalangan kelas menengah ke atas. Fenomena ini menjadi lebih jelas pada perayaan Idul Fitri, yang meskipun berakar pada ibadah, kini lebih sering dijadikan ajang untuk memamerkan prestasi duniawi dan konsumsi berlebihan.

Tradisi membeli barang baru untuk Idul Fitri telah ada sejak zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16, dan hingga kini tetap menjadi bagian dari ritual masyarakat. Hal ini menyebabkan peningkatan transaksi ekonomi, terutama di sektor perbelanjaan, selama Ramadan dan Idul Fitri. Data Bank Indonesia menunjukkan adanya lonjakan transaksi selama periode ini, dengan penggunaan uang elektronik dan pembayaran digital yang semakin meningkat.

Namun, perayaan Idul Fitri kini lebih sering dikaitkan dengan konsumsi berlebihan. Masyarakat berbondong-bondong membeli barang tanpa memikirkan kebutuhan, terjebak dalam konsumsi yang tidak terkontrol, bahkan dengan menggunakan kartu kredit. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai, di mana nilai simbol lebih penting daripada nilai guna barang, sebuah kondisi yang diidentifikasi oleh Jean Baudrillard sebagai bagian dari masyarakat konsumer.

*Konsep Penciptaan: KOMODIFIKASI IDUL FITRI dan GEJALA KONSUMERISME*

Manusia dalam kehidupan membutuhkan berbagai macam hal untuk memenuhi kebutuhannya. Fenomena konsumerisme pada Idul Fitri sangat menarik perhatian karena kedua hal tersebut sangat bertolak belakang, konsumerisme suatu sifat yang hiperbolis atau berlebihan, sedangkan Idul Fitri merupakan hari suci yang sebelumnya melakukan ibadah di bulan Ramadan yang penih keprihatinan.

Tradisi membeli barang baru sudah menjadi ritual rutin setiap tahunnya menjelang Idul Fitri. Perilaku konsumtif ini menjadi kegiatan yang seragam pada umat muslim maupun non muslim. Sifat serakah dapat menimbulkan dampak sosial, yakni ketidakpedulian dan kesenjangan sosial.

Dari hasil pembahasan terhadap proses penciptaan dan studi kasus, maka terdapat kesimpulan sebagai berikut. Hari raya Idul Fitri adalah sebuah fenomena sosial mengenai gejala konsumerisme pada masyarakat. Konsumerisme sebagai keserakahan dan idul fitri sebagai budaya muslim.

Pada akhirnya keserakahan dapat menimbulkan dampak sosial lainnya, yakni ketidakpedulian dan kesenjangan sosial. Dimana dampak tersebut merupakan masalah yang sangat memprihatinkan. Ketika manusia serakah, secara tidak langsung manusia tersebut tidak peduli dengan sesama bahkan alam, dan ketika manusia tidak peduli, kesenjangan sosial pun tak bisa terelakan.

Budaya konsumerisme telah merambah ke wilayah agama khususnya pada momen Idul Fitri. Simbol – simbol “agama” telah menjadi komoditas seakan perayaan tersebut terasa sangat komersial. Berbagai produk dikemas dengan embel – embel religiusitas. Simbol – simbol Ramadan dan Idul Fitri dihadirkan di berbagai sudut pertokoan agar tampak menarik, islami.

Idul Fitri memang merupakan perayaan besar, khususnya bagi orang – orang yang sudah melaksanakan tugas agama pada bulan Ramadan dan seharusnya output dari implementasi ibadah adalah menampilkan orang – orang dengan keindahan pakaian akhlak mulia dan dan perhiasan takwa pada dirinya.

Penulis : Naufal Zaky S.Pd., M.Pd , Dosen Sosiologi dan Antropologi Pendidikan.

Artikel ini telah dibaca 66 kali

Iklan 2
Baca Lainnya

IKN Terancam Rungkad, Jokowi Harus Bertanggung Jawab

30 Juli 2024 - 23:35 WIB

Kebijakan Pertahanan Indonesia: Antara Kepentingan Nasional dan Tantangan Global

11 Mei 2024 - 22:50 WIB

Pemilihan Umum Sebagai Kemerdekaan Yang Hakiki

4 Desember 2023 - 13:16 WIB

Kasus Gibran Dan Nasehat Untuk Pendukung Jokowi

28 Oktober 2023 - 13:51 WIB

Komorbid Demokrasi Melalui Agenda Oligariki dan Politik Dinasti

19 Oktober 2023 - 19:11 WIB

Gibran Wapres dan Skenario Legacy Jokowi

14 Oktober 2023 - 10:15 WIB

Trending di Opini
Presiden RI 2024