OPINI, Bundarantimes.com – Publik terkejut. Kejutan demi kejutan dibuat oleh Presiden Jokowi. Pernyataan Jokowi sempat menjadi modal untuk nyapres. Prabowo menangkap faktor Jokowi dalam elektoral Pilpres 2024. Sementara PDIP tetap percaya Jokowi paham tatanan. Ksatria. Kader PDIP.
Jokowi menikmati popularitas. Tentu Jokowi bisa bertindak apapun. Tak ada yang bisa menghentikan. Tidak ada yang bisa memberikan masukan. Pun masukan hanya dari lingkaran dalam Jokowi: Luhut Binsad Pandjaitan, Pratikno, dkk. Orang lain. Bukan orang PDIP.
Jadi bahan tertawaan. PDIP lebih kuat sebagai oposisi. Ketika berkuasa PDIP memberikan posisi penting, Keuangan, Pertahahan, Ekonomi, Kehutanan, Pertanian, Seskab untuk partai lain. PDIP hanya kebagian portofolio administrasi ala kadarnya: Mensekab. Mendagri pun kegeser ke faksi politik lain. Polri. Menteri Sekreataris Negara yang berurusan dengan legislasi diberikan ke faksi teman Jokowi. UGM.
PDIP menjadi partai yang menerima. Nrimo. Bahkan dalam rangka mencuri duit pun PDIP kalah oleh NasDem dan konspirasi maling. Padahal sejatinya politik adalah alat mencari kekuasaan dan duit. Haram dan halal tidak terhitung.
Sektor pertambangan nikel menjadi ajang jarahan. PDIP hanya menonton. Windu Brebes dari relawan Jokowi, melalui PT Lawu merampok Rp5,7 triliun. Mafia pimpinan Glen Ario Sudarto bekerja mencuri dari lahan nikel PT Antam di Sulawesi Tenggara.
Glen dan Windu ditahan di Kendari. Namun duit Rp5,7 triliun kerugian PT Antam tidak diurus. Hilang. Glen dan Windu pun tenang dan bisa jadi akan lepas dari jerat hukum. Ngeri.
Jokowi di permukaan. Tanpa cacat. Sempurna. Tak tertandingi popularitasnya. Namun lingkarannya bukan sosok-sosok seperti Jokowi. Kesempurnaan Jokowi menjadi bahan bancakan seluruh lingkarannya. Toh rakyat tetap mendukung Jokowi.
Maka, ketika Jokowi membuat kalkulasi politik pun dia tidak akan salah. Mahkamah Konstitusi diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga. Rakyat dianggap Jokowi melanggar etika. Etika telah tertutup oleh seluruh kesempurnaan di permukaan Jokowi.
Dengan Jokowi di belakangnya, Gibran jadi pusat perhatian. Sampai Zulhas, SBY, Yusril, Prabowo bertekuk lutut di hadapan bekas tukang martabak yang masih kader PDIP. Ridwan Kamil kader Golkar senior pun tersingkir. Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, AHY, cuma bisa bengong. Kalah.
Kader Golkar, PAN, Demokrat, Gelora meradang. Karena potong kompas politik Gibran kader PDIP masuk ke Prabowo dengan menyingkirkan seluruh Ketum dan kader potensial partai pengusung Prabowo. Malapetaka politik buat mereka.
Rakyat dan relawan Jokowi terpecah. Narasi dan survei pesanan LSI Denny JA bergerak sejak lama. Sementara PDIP hanya mengandalkan moral, etika, strategi halal, kepatutan, tatanan. Akibatnya, narasi PDIP kalah telak. Ganjar-Mahfud MD pun tetap dinarasikan secara kuno.
Viralisasi ide segar Ganjar-Mahfud yang penuh kemampuan dan ketrampilan, dipelintir menjadi tokoh tua. Sedang Gibran dipoles sebagai anak muda. Meskipun dia bukan siapa-siapa kalau bukan anak Jokowi.
Demi melihat situasi seperti itu, maka tak ada cara lain, saya sebagai pendukung Jokowi, pendukung Ganjar-Mahfud MD, untuk menimbang dua hal. Mendukung Gibran, dengan lingkaran pertemanan Jokowi dengan LBP dan Pratikno dkk, atau mendukung Ganjar-Mahfud dari PDIP dan nurani etika.
Maka sebagai pendukung GAMA, jangan baper. Lupakan intrik politik Jokowi, Prabowo, Gibran dan media. Fokuslah bekerja merebut satu-satu suara untuk kemenangan Ganjar-Mahfud dan kemenangan nalar, nurani, tatanan, etika.
(Red)